Perlindungan konsumen
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen. Konsumen dilindungi dari setiap tindakan produsen
barang atau jasa, importer, distributor penjual dan setiap pihak yang berada
dalam jalur perdagangan barang atau jasa ini, yang pada umumnya disebut dengan
nama pelaku usaha.Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda
harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
Jenis-Jenis Perlindungan Konsumen
Ada dua jenis perlindungan yang diberikan kepada
konsumen, yaitu :
1. Perlindungan Priventif
Perlindungan yang
diberikan kepada konsumen pada saat konsumen tersebut akan membeli atau
menggunakan atau memanfaatkan suatu barang dan atau jasa tertentu, mulai
melakukan proses pemilihan serangkaian atau sejumlah barang dan atau jasa
tersebut dan selanjutnya memutuskan untuk membeli atau menggunakan atau
memanfaatkan barang dan jasa dengan spesifikasi tertentu dan merek tertentu
tersebut.
2. Perlindungan Kuratif
Perlindungan yang
diberikan kepada konsumen sebagai akibat dari penggunaan atau pemanfaatan
barang atau jasa tertentu oleh konsumen. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa
konsumen belum tentu dan tidak perlu, serta tidak boleh dipersamakan dengan
pembeli barang dan atau jasa, meskipun pada umumnya konsumen adalah mereka yang
membeli suatu barang atau jasa. Dalam hal ini seseorang dikatakan konsumen,
cukup jika orang tersebut adalah pengguna atau pemanfaat atau penikmat dari
suatu barang atau jasa, tidak peduli ia mendapatkannya melalui pembelian atau
pemberian.
Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum perlindungan
konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan
oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap
hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Hukum Perlindungan
Konsumen merupakan cabang dari Hukum Ekonomi. Alasannya, permasalahan yang
diatur dalam hukum konsumen berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan barang /
jasa. Pada tanggal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah
menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk
disahkan oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri
baru disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 april 1999.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen
dapat mengajukan perlindungan adalah:
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Dengan diundang-undangkannya masalah perlindungan
konsumen, dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bisa
mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa
konsumen (BPSK).
Dasar hukum tersebut bisa menjadi landasan hukum
yang sah dalam soal pengaturan perlindungan konsumen. Di samping UU
Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga
bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum sebagai berikut :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 605/MPP/KEP/8/2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan.
Asas-asas
Perlindungan Konsumen
Tujuan dari UU PK
adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi
pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Dalam Pasal 3 UU PK menyebutkan
bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
- Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas
manfaat
Asas ini mengandung
makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak
yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus
memperoleh hak-haknya.
2. Asas
keadilan
Penerapan asas ini
dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban
konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku
usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas
keseimbangan
Melalui penerapan asas ini,
diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud
secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU
PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau digunakan.
5. Asas
kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik
konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan
perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan
bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
- Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
- Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
- Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
- Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
- Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
- Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Prinsip-Prinsip perlindungan konsumen
Prinsip
Bertanggung Jawab Berdasarkan Kelalaian
Tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat
subjektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan oleh perilaku produsen. Sifat
subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati
mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut,
kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan
faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada
produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti
kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
- Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
- Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
- Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang
mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara
kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian
juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda
terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
1. Tanggung
Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip
tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang
didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat
merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua
syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara
produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk berdasrkan kelalaian tidak
memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen
dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen,
yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai
penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa
kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
2. Kelalaian
Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap
kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab
yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat
pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu
hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini
tidak memihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen
yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang
tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
3. Kelalaian
Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung
jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan
kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab
produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab
yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya
hubungan kontrak.
4. Prinsip
Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap perkembangan
terakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk
modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini
bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung
jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan
kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung
jawab mutlak.
Prinsip
Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan
gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen
untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal
dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu
produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak
atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungan bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini
adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang
tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi
janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi
konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab
untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk
perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
- Pembatasan waktu gugatan.
- Persyaratan pemberitahuan.
- Kemungkinan adanya bantahan.
- Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
Prisip
Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini
dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen
wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan
produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti
kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar
hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya
hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya.
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut
konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di
pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak
diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
- Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
- Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen
Kasus
Susu Formula
Di Indonesia, nasib
perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal menyangkut
kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun
menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu
formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan
bakteri Enterobacter sakazakii.
Hasil ini berbeda
dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan, 22,73% susu
formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan
April hingga Juni 2006 terkontaminasi E sakazakii.
Apa pun perbedaan yang
tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu formula ini telah
menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini
membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya
memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen
dalam pembangunan ekonomi.
Tanggung
Jawab Produk
Dalam perlindungan
konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product liability, yakni
tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Doktrin tersebut
selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHPerdata) yang
menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti
kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Unsur-unsur ini pada
dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan
melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu
perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat
dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
Doktrin strict
product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di
Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin
perbuatan melawan hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Selama ini, kualifikasi
gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi (default). Apabila
ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi gugatannya
adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan
melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah disyaratkan. Bila tidak,
konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya
perbuatan melawan hukum. Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat,
karena harus membuktikan unsur melawan hukum.
Hal inilah yang
dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya adalah
pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai
dalam proses produksinya. Untuk membuktikan unsur “tidak lalai” perlu ada
kriteria berdasarkan ketentuan hukum administrasi negara tentang “Tata Cara
Produksi Yang Baik” yang dikeluarkan instansi atau departemen yang berwenang.
Kedigdayaan
Produsen
Berdasarkan prinsip
kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu mestinya tidak
dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua unsur
perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan
hukum dalam perkara konsumen, seyogianya dilakukan “deregulasi” dengan
menerapkan doktrin strict product liability ke dalam doktrin perbuatan melawan
hukum.
Hal ini dapat dijumpai
landasan hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
menegaskan bahwa penjual bertanggung jawab adanya “cacat tersembunyi” pada
produk yang dijual
Menurut doktrin strict
product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of quality),
kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan
kelalaian/kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia
harus memikul risiko kerugian yang dialami pihak lain karena mengonsumsi
produknya.
Doktrin tersebut memang
masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia
masih memegang teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha. Sekalipun
doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila
perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan
Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living
law).
Walhasil, berkait kasus
susu formula ada hal yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang
masih terpampang adalah “kedigdayaan” produsen atau pelaku usaha termasuk
pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap defensif dengan
seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur
“ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal,
pihak-pihak berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian
dalam produknya tersebut.
Sumber: